Minggu, 12 Mei 2013

Sistem pemerintahan Jokowi dan SBY


Sistem Pemerintahan Jokowi dan SBY

1. Pemerintahan Jokowi
Joko Widodo(akrab disapa Jokowi), tak diragukan lagi merupakan walikota paling fenomenal di Indonesia sekarang ini. Gebrakannya dalam membuat kebijakan yang pro-rakyat dan bersikap kritis atas modal asing, memberikan angin baru pada kekuasaan yang terus membusuk di negeri ini. Kekuasaan yang selama ini dipersonifikasikan dengan pro modal, korup, elitis dan oligarkis, dengan hadirnya Jokowi, kini dapat personifikasi sebagai aspiratif dan pro rakyat. Pegangan Jokowi dalam memerintah adalah amanat yang diberikan oleh pembukaan UUD 1945. Sebuah pemerintahan harus berpijak pada konstitusi negara. Menurutnya, amanat dari pemerintahan sudah secara tegas dinyatakan dalam konstitusi negara.
Ketika menjadi walikota Solo, Jokowi mengambil pondasi tujuan sebuah pemerintahan dari Pembukaan UUD 1945. Menurut Jokowi, dalam UUD 1945 sudah jelas dinyatakan tentang fungsi dari pemerintahan yaitu; (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) Untuk memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan dalam pembukaan UUD 45 tersebut menjadi pegangan Jokowi untuk memajukan kebijakan dan membangun sistem pemerintahan yang mengabdi pada kepentingan masyrakat dengan melibatkan partisipasi publik secara luas. Dengan berpegang pada prinsip ini, Jokowi hendak memberikan pernyataan bahwa sebuah pemerintahan yang menjalankan amanat konstitusional seharusnya berfungsi untuk mensejahterakan rakyat. Bila pemerintahan gagal atau tidak bertujuan mensejahterakan rakyat maka bisa dikatakan dia sudah tidak konstitusional.
Bila analogi konsitusional ala Jokowi ini kita terapkan dalam pemerintahan pusat dan lokal di Indonesia, maka dapat dipastikan bahwa mayoritas pemerintahan di Indonesia tidak konstitusional, karena tidak menjalankan amanat konstitusi untuk mensejahterakan rakyat.
·         Pro Ekonomi Rakyat
Sejak Orde Baru berkuasa hingga sekarang, investasi asing dan modal besar selalu menjadi primadona penguasa, baik di pusat maupun di daerah. Ideologi pembangunan ala orde baru menganggap modal dan investasi besar sebagai berhala. Karena itu di fasilitasi dengan berbagai regulasi dan insentif agar datang dan berakumulasi. Namun, di Solo, logika kekuasan yang pro modal besar dan modal asing justru seperti pepesan kosong. Dengan lantang, Joko Widodo sebagai walikota Solo, menyatakan bahwa para pemimpin pusat kurang berpihak kepada rakyat dan cenderung mementingkan kapital asing. Hal ini ditunjukan dengan penguasaan 52 persen bank dan 76 persen pertambangan oleh pihak asing. Bila pemerintah pusat memihak rakyat, seharusnya perizinan kepemilikan usaha asing dipersulit. ‘Saya sangat sedih melihat perkembangan ini,’ ujarnya.
Bersikap kritis atas kepentingan modal adalah salah satu strategi dari Jokowi untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan yang mandiri. Secara ekonomis, walikota ini bahkan berani mengatakan bahwa ekonomi kerakyatan menyumbang lebih besar bagi roda perekonomian daerah daripada modal besar. Setelah Jokowi menjadi walikota, pendapatan daerah dari pasar tradisionil meningkat dari Rp. 7,8 miliar menjadi Rp. 19,2 miliar. Hasil Rp. 19,2 miliar itu didapat hanya dari retribusi harian Rp 2.600. Sementara bila dari mall atau hypermart, justru Pemda hanya dapat pemasukan dari IMB. Di Solo, jumlah minimarket juga dibatasi jumlahnya. Dari sekitar 80 yang mengajukan ijin hanya belasan yang dia loloskan beroperasi. ‘Biar saya tidak diberi kesan anti investasi,’ ujar Jokowi sambil tertawa. Sikap kritisnya atas ‘modal besar’ telah membawanya berpolemik dengan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, yang hendak membongkar bangunan bersejarah pabrik gula dan menjadikannya sebuah mall.
·         Pemenuhan Hak Dasar Kesehatan dan Pendidikan
Salah satu formula dari neoliberalisme adalah melakukan privatisasi dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal kesehatan dan pendidikan. Subsidi diangap mahluk haram dan dikeluarkan dari kebijakan anggaran. Formula ini mengakibatkan rakyat miskin kehilangan haknya untuk mendapatkan kesehatan dan pendidikan yang layak dan berkualitas. Tanggungjawab sosial negara kepada rakyat diamputasi oleh kepentingan pasar bebas. Jokowi justru melawan arus besar ini. Negara tetap harus berfungsi sosial untuk rakyat yang miskin. Ia yakin prinsip ini sejalan dengan jiwa UUD 45, yang menjadi landasan filosofis pemerintahannya.
Di Solo, Jokowi mengubah politik anggaran, dengan memajukan subsidi kesehatan dan pendidikan untuk rakyat miskin. Sang walikota lalu melahirkan program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS) dan Bantuan Pendidikan Masyarakat Surakarta (BPMKS). Dari kurang lebih 530 ribu warga Solo,hanya sekitar 109 ribu di antaranya mendapat pelayanan Jaminan Kesehatan Masyarakat dari pemerintah pusat. Program PKMS itu bertujuan menjaring sisanya. Sejauh ini, sekitar 213 ribu orang terlindungi PKMS, dengan kebutuhan anggaran mencapai sekitar Rp. 19 milyar.
Agar rakyat miskin tidak ribet mengurus birokrasi, seperti di kota lain ketika mengurus hak untuk mendapatkan kesehatan dan pendidikan, pihak walikota Solo mengeluarkan kartu eksklusif untuk rakyat miskin agar mendapatkan pelayanan prioritas. Kartu itu diberi kode ‘kartu platinum, gold dan silver’. ”Kalau kartu platinum, gold dan silver, biasanya adalah kartu milik orang kaya, maka di Solo justru milik orang miskin,” kata Jokowi berkelakar. Untuk pendidikan, pemegang kartu platinum gratis semuanya, mulai dari uang pangkal sampai kebutuhan sekolah dan juga biaya operasional. Kemudian, yang gold itu mendapat fasilitas, tapi tak sebanyak platinum. Begitu juga yang silver, hanya dibayari pemerintah kota untuk kebutuhan tertentu. Untu kesehatan juga sama. Semua pemeganga kartu gratis, tidak hanya untuk penyakit ringan, tapi juga untuk perawatan rawat inap, bahkan cuci darah juga gratis. “Karena kebijakan kesehatan dan pendidikan yang pro rakyat, saya dipilih kembali menjadi walikota Solo,”ujar Jokowi.
·         Reformasi Birokrasi
Persoalan penting dari pejabat baru yang hendak melakukan perubahan adalah sistem birokrasi warisan rejim lama yang korup, tidak transparan, tidak akuntabel dan tidak efektif. Tantangan ini dihadapi oleh Jokowi dengan kreatif dan ketegasan.
Tantangan pertama yang harus ia benahi adalah birokrasi dan korupsi dipengurusan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Dengan melakukan konsultasi dari para ahli IT, Jokowi mendapatkan kesimpulan bahwa KTP dapat diurus dalam waktu satu jam. Sang walikota lalu mengadopsi kebijakan ini dengan membuat infrastruktur yang modern, transparan, akuntibel dan cepat. Tempat pengurusan KTP dia ubah seperti sistem pelayanan di Bank. Untuk menyesuaikan sistem baru yang modern dan transparan ini, Jokowi harus menghadapi birokrasi sistem lama yang melakukan resistensi atas sistem baru yang ia ajukan. Tiga lurah dan satu camat yang ragu-ragu dengan sistem ini ia copot. ‘Saya ganti saja dengan yang baru dan memahami sistem yang saya buat. Begitu saja kok repot,’ katanya. Menggantikan birokrasi dengan sistem baru, terbukti membuat birokrasi pengurusan KTP terpangkas dan pos-pos korupsi dihilangkan. Dengan biaya sebesar Rp. 5.000, warga Solo dapat mengurus KTP hanya dalam waktu satu jam.
Proses reformasi aparat pemerintahan yang juga ia lakukan secara revolusiner, adalah ditujukan kepada Satpol Polisi Pamongpraja (Satpol PP) di Solo. Jokowi merasa marah melihat proses penggusuran di berbagai kota yang menggunakan Satpol PP untuk melakukan kekerasan terhadap rakyat kecil. “Ketika saya menjadi walikota, maka saya sudah memutuskan tidak ada lagi satpol PP di kota Solo”. Satpol PP menjadi sasaran pertama untuk di revolusi. Jokowi memerintahkan ketua Satpol PP kota Solo untuk mengumpulkan seluruh pentungan, tameng dan seragam Satpol PP. “Saya kumpulkan, saya masukkan gudang dan kemudian saya kunci”. Ketua satpol lama yang kekar dan berkumis tebal, ia gantikan dengan seorang perempuan ayu berseragam kebaya. Seragam satpol PP juga ia ganti dengan seragam ala abdi dalem keraton, sehinga wajah sangar anggota Satpol PP yang dulu seram, sekarang menjadi kemayu dan manis.
Jokowi menunjukkan bahwa ketegasan atas birokrasi warisan rejim lama sangat dibutuhkan untuk melakukan reformasi birokrasi. Birokrat yang tak sejalan dengan sistem yang ia bangun, ia pecat dan ganti dengan yang baru. Dengan ketegasan ini, ia berhasil menjinakkan birokrasi rejim lama untuk tunduk dan menjalankan sistem yang ia bangun. Jokowi bukanlah tipe ’pemimpin peragu’ yang mencla-mencle atas birokrasi dalam pemerintahanya.
·         Demokrasi Langsung
Kekuasaan yang didapatkan dari hasil demokrasi perwakilan/formal, seringkali mendatangi rakyat menjelang pemilihan umum (Pemilu), tapi menjadi pelupa setelah berkuasa. Setelah Pemilu, kekuasaan mengabdi untuk kepentingan pribadi, kelompok atau partainya. Karena itu demokrasi yang hanya bergantung pada proses elektoral, seringkali membeku menjadi kekuasaan oligarkis yang korup dan tidak aspiratif.
Di Solo, Jokowi melakukan terobosan luar biasa dengan mengembangkan demokrasi langsung, yang menghubungkan antara dirinya dengan rakyat tanpa perantaraan birokrasi, LSM atau partai.Dalam periode pertama pemerintahannya, sang walikota memerintahkan agar pintu gerbang kantor walikota tidak boleh ditutup untuk para demonstran. Kepada para stafnya ia perintahkan untuk melayani para demonstran dengan baik, diberi tempat yang teduh, diberi minum dan makan dan ditemani oleh para staf yang ramah dan cantik-cantik. Bila ada di kantor, Jokowi bertemu langsung dengan para demonstran. Kebiasaan Jokowi ini sangat berbeda dengan banyak pejabat yang justru menutup kantornya dari demonstran, bersembunyi bahkan kerap membubarkan demonstrasi dengan memanggil polisi dan Satpol PP. Dari para demonstran ia mendapatkan masukan tentang problem yang dialami rakyat dan solusi yang mereka tawarkan. Segala macam cacian dan protes ia terima dengan kalem. Setelah dua periode memerintah, Jokowi sedih karena para demonstran sudah berkurang jauh. ‘Kadang-kadang saya malah jadi kangen ingin di demo,’ ujarnya. Strategi jitu yang juga ia lakukan adalah dengan melakukan turun ke bawah (turba), untuk mengetahui langsung persoalan di tengah rakyat. ‘Saya itu paling lama cuma satu jam di kantor, selebihnya saya keliling keluar masuk kampung dan pasar,’ ujar sang walikota. Dengan terjun langsung ‘saya mengetahui aspirasi dari masyarakat tanpa dikurangi dan dilebihkan.’
Dengan metode demokrasi langsung, Jokowi berhasil merelokasi puluhan pedagang kaki lima (PKL) di Solo dengan cara demokratis, tidak merugikan para pedagang kecil, sebaliknya malah menguntungkan mereka. Ratusan para pedagang malah pernah ia undang makan malam hingga 54 kali agar mereka bisa mencapai kesepakatan untuk melakukan relokasi yang menguntungkan pedagang. Di tempat relokasi yang baru, omset para pedagang PKL rata-rata meningkat 4 sampa 10 kali lipat.
Cara lain untuk menjaring aspirasi dan mencari solusi dari rakyat adalah dengan melakukan ’konsultasi publik’ secara reguler setiap bulan, dengan mengundang RT/RW dan masyarakat luas di halaman balaikota. Dengan cara ini Jokowi melakukan kontrol atas pemerintahannya secara langsung. Fungsi pengawasan yang paling penting atas pemerintahanya bukan dilakukan oleh DPRD TK II, tapi dari konsultasi publik. Dengan cara ini, ia juga dapat meminimalisir laporan ABS (Asal Bapak Senang) yang menjadi tradisi dalam birokrasi rejim lama. Berbagai kritik dan masukan dari rakyat langsung ia dengarkan. ‘Telinga saya sudah biasa di marahi oleh rakyat.’
Apa yang dilakukan Jokowi adalah mengembangkan demokrasi langsung, dimana rakyat berpartisipasi dalam mengawasi, mencari solusi, dan menjalankan program-program pemerintahannya. Rakyat tidak menjadi pasif atas kekuasaan, tapi dimobilisasi dan dilembagakan untuk mengawal pemerintahanya secara langsung. Model seperti ini adalah terobosan di tengah pembusukkan sistem politik dominan yang dikuasai oleh partai politik. Jokowi menunjukkan, bahkan di tengah situasi partai yang korup dan elitis, demokrasi langsung adalah suatu cara yang paling efektif untuk mengajak rakyat terlibat dalam politik pemerintahan.
·         Pembangunan monorel
Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi), mengaku tidak keberatan kalau pemerintah pusat lebih dulu membangun monorel. "Ya bagus dong," kata Jokowi di Balaikota DKI Jakarta, Selasa. Ia menyatakan akan mendukung pembangunan monorel yang beberapa hari lalu sudah diresmikan oleh Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, di Madiun. Jokowi juga mengatakan, pembangunan jalur monorel Bekasi-Cawang-Kuningan terlebih dulu akan meringankan tugasnya. "Kan memang untuk Jakarta juga. Malah kerjaan saya jadi ringan," katanya. Dia akan menerima pihak-pihak yang ingin membangun infrastruktur untuk kepentingan warga Jakarta. "Selamat datang di Jakarta. Mau itu dari pemerintah pusat, BUMN, investor kalau memang mau membangun untuk warga Jakarta ya silahkan," katanya.
Rencana pembangunan monorel di Jakarta saat ini masih menemui kendala. Jokowi menyatakan akan memanggil konsorsium, PT Jakarta Monorail, untuk menyelesaikan masalah itu. "Kalau besok sudah selesai, saya tanda tangan, langsung cor," katanya.
 2.  Pemerintahan SBY
Sembilan tahun pemerintahan SBY-Boediono dianggap gagal. Janji-janji kampanye yang dulu disodorkan ke rakyat tidak berdampak sama sekali. Alih-alih berpikir soal kesejahteraan rakyat, SBY justru lebih memikirkan gonjang-ganjing Politik, khususnya sibuk dengan urusan Partainya sendiri yaitu Partai Demokrat. Inilah beberapa hal yang disampaikan Forum BEM DIY, yang menyelenggarakan aksi simpatik di Gedung DPRD DIY Jum’at, 1 Maret 2013. Dalam orasinya, Forum Bem DIY mengatakan salah satu hal yang belum di penuhi dalam sembilan tahun pemerintahan SBY-Boediono adalah realisasi 20% anggaran pendidikan. Belum terealisasinya pendidikan gratis untuk semua jenjang pendidikan, pengawasan dana bos yang tidak transparan.
Penegakan hukum yang masih tebang pilih, munculnya rekening gendut polisi, pemberian grasi kepada 330 narapidana korupsi adalah sederatan catatan buruk dalam penegakan hukum selama pemerintahan SBY-Boediono. Untuk Forum BEM DIY, memberikan beberapa point masukan bagi pemerintahan SBY-Boediono diantaranya adalah, pertama, menuntut profesionalitas lembaga penegak hukum dan berantas koruptor tanpa pandang bulu. Kedua, menuntut tuntas segala macam kasus lingkungan hidup dikawasan pegunungan, perkotaan hingga pesisir.
·         Fokus dalam bidang Pendidikan :
1.     meneruskan dan mengefektifkan program rehabilitasi gedung sekolah yang sudah dimulai pada periode 2004 - 2009, sehingga terbangun fasilitas pendidikan yang memadai dan bermutu dengan memperbaiki dan menambah prasarana fisik sekolah, serta penggunaan teknologi informatika dalam proses pengajaran yang akan menunjang proses belajar dan mengajar agar lebih efektif dan berkualitas.
2.    Pemanfaatan alokasi anggaran 20 % dari APBN untuk memastikan pemantapan pendidikan gratis dan terjangkau untuk pendidikan dasar 9 tahun dan dilanjutkan secara bertahap pada tingkatan pendidikan lanjutan di tingkat SMA.Pendidikan gratis atau terjangkau ini tidak hanya dilakukan dengan sekedar membebaskan murid dari SPP tetapi juga dari pungutan lain seperti buk u wajib atau kegiatan praktek ekstra kurikulum.
3.    perbaikan secara fundamental kualitas kurikulum dan penyediaan buku-buku yang berkualitas agar main mencerdaskan siswa dan membentuk karakter siswa yang bermain, berilmu, kreatif, inovatif, jujur,dedikatif, bertanggung jawab dan suka bekerja keras.
4.    meneruskan perbaikan kualitas guru, dosen serta peneliti aagr menjadi pilar pendidikan yang mencerdaskan bangsa,mampu menciptakan lingkungan yang inovatif, serta mampu menularkan kualitas intelektual yang tinggi, bermutu dan terus berkembang kepada anak didiknya. selain program sertifikasi guru untuk menjaga mutu,juga akan ditingkatkan pogram pendidikan dan pelatihan bagi para guru termasuk program pendidikan bergelar bagi para guru agar sesuai dengan bidang pelajaran yang diajarkan dan semakin bermutu dalam memberikan pengajaran pada siswa.
5.    memperbaiki remunerasi guru dan melanjutkan upaya perbaikan penghasilan kepada guru, dosen dan para peneliti.
6.    memperluas penerapan dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mendukung kinerja penyelenggara pembangunan di bidang pendidikan.
7.    mendorong partisipasi masyarakat (terutama orang tua murid) dalam menciptakan kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan aspirasi dan tantangan jaman saat ini.
8.    mengurangi kesenjangan dalam akses pendidikan dan kualitas pendidikan, baik pada keluarga berpenghasilan rendah maupun daerah yang tertinggal. pemberian program beasiswa dan pelaksanaan dan perluasan Program Keluarga Harapan (PKH), serta memberikan bantuan tunai kepada rumah tangga miskin dengan syarat mereka mengirimkan anaknya ke bangku sekolah.

·         Penghematan Energi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketika menyampaikan pidato tentang gerakan nasional penghematan energi serta peningkatan pendapatan negara dan optimasi anggaran di Istana Negara, Jakarta, Selasa (29/5/2012), mengemukakan lima kebijakan dan tindakan yang akan dilakukan pemerintah.
Langkah Pertama, pengendalian sistem distribusi di setiap SPBU. Pengendalian ini, kata Presiden, dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Setiap kendaraan akan didata secara elektronik, baik data kepemilikan maupun data fisik kendaraan tersebut. Setiap kali kendaraan tersebut mengisi BBM, maka jumlah BBM subsidi yang dibeli akan tercatat secara otomatis, dan dapat diketahui jumlah pembelian setiap harinya. "Langkah ini untuk menjamin bahwa konsumsi BBM khususnya yang bersubsidi dapat dikendalikan secara transparan dan akuntabel, dan penggunaannya pun tepat sasaran. Ingat, BBM bersubsidi hanya bagi mereka yang berhak. Jumlahnya pun harus tepat, sehingga dapat dicegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan, yang akan sangat merugikan negara," kata Presiden.
Selain itu, untuk mencegah terjadinya kelangkaan BBM, Pertamina akan tetap menjaga pasokan sesuai dengan kuota daerah, tetapi sekaligus menyediakan BBM non subsidi berapapun yang dibutuhkan.
Langkah Kedua adalah pelarangan BBM bersubsidi untuk kendaraan pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, juga untuk BUMN dan BUMD. Langkah ini dilakukan dengan cara pemberian stiker khusus bagi kendaraan yang dilarang menggunakan BBM bersubsidi tersebut. Jajaran Pemerintah Pusat dan daerah, BUMN dan BUMD diharapkan dapat memberikan contoh nyata dalam upaya penghematan BBM ini. Langkah ini juga untuk meyakinkan bahwa subsidi dengan anggaran yang besar benar-benar tepat sasaran, dan sesuai dengan peruntukannya.
Langkah Ketiga  adalah pelarangan BBM bersubsidi untuk kendaraan perkebunan dan pertambangan. Pelarangan ini juga dilakukan dengan menerapkan sistem stiker.  Pengawasan dilakukan oleh BPH Migas secara terpadu bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan Pemerintah Daerah. "Harus pula dilakukan kontrol yang ketat di daerah, utamanya di areal usaha perkebunan dan pertambangan, serta Industri, atas pelaksanaan ketentuan ini. Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan BBM bagi kalangan pertambangan dan perkebunan, Pertamina akan menambah SPBU BBM non subsidi sesuai kebutuhan di lokasi-lokasi tersebut," kata Presiden.
Langkah Keempat adalah konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) untuk transportasi. Program konversi atau pengalihan penggunaan BBM ke BBG ini, kata Kepala Negara, harus menjadi program utama nasional. Hal ini sebagai upaya Indonesia mengurangi ketergantungan pada BBM, dan kemudian beralih ke gas, terutama di sektor transportasi. "Pada tahun ini akan dibangun stasiun pengisian gas baru sebanyak 33 stasiun, dan sebanyak 8 stasiun akan direvitalisasi kembali. Untuk langkah awal, mulai tahun ini, pemerintah akan membagikan 15.000 converter kit, atau alat konversi penggunaan BBM menjadi BBG bagi angkutan umum secara bertahap, dan terus ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang," kata Presiden. Efektivitasnya diversifikasi dan konversi BBM ke BBG, kata Presiden, memang baru akan dirasakan pada tahun 2013 mendatang. Namun, langkah ini dikatakan upaya penting dalam penghematan penggunaaan BBM bersubsidi, dan pelestarian lingkungan.
Langkah Kelima adalah penghematan penggunaan listrik dan air di kantor-kantor pemerintah, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD, serta penghematan penerangan jalan-jalan, yang semuanya mulai diberlakukan pada bulan Juni 2012. "Pimpinan instansi dan lembaga terkait harus bertanggung jawab untuk suksesnya pelaksanaan program ini. Pada tahun 2008 dan 2009 yang lalu, ketika kita menghadapi kondisi yang relatif sama dengan apa yang terjadi saat ini, gerakan penghematan listrik dan air ini berjalan dengan sangat sukses. Saat itu kita berhasil menurunkan penggunaan BBM dan listrik yang signifikan," kata Presiden.
Kelima langkah ini, sambung Presiden, akan ditunjang oleh pengetatan pengawasan. Pemerintah akan meningkatkan pengawasan dan menindak tegas setiap penyelewengan penggunaan BBM bersubsidi. "Saya instruksikan kepada BPH Migas agar meningkatkan koordinasi dengan instansi-instansi terkait, untuk memastikan tidak ada kebocoran dan penyimpangan dalam distribusi, mulai dari depo sampai ke stasiun pengisian (SPBU), dan di tempat-tempat lainnya," kata Presiden.